Senin, 06 Februari 2017

Materi Sāṁkhya

Materi Sāṁkhya



a. Pendiri dan Pokok Ajarannya
Sāṁkhya berasal dari kata Sanskṛta ‘Sāṁkhya’ (pencacahan, perhitungan). Dalam filsafat, pencacahan akurat dari kebenaran telah ditentukan. Akibatnya, filsafat ini bernama ‘Sāṁkhya’. Mungkin ada alasan lain bahwa salah satu arti dari ‘Sāṁkhya’ adalah musyawarah atau refleksi atas hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran. Filsafat ini mengandung musyawarah tersebut dan kontemplasi atas kebenaran.
Dalam persepsi filsafat, Pratyaksh (persepsi langsung melalui rasa-organ), Anumān (inferensi atau kognisi mengikuti beberapa pengetahuan lainnya), dan Śhabda (kesaksian verbal) adalah tiga pramānā yang diterima (sumber pengetahuan yang sah atau metode mengetahui benar). Misalnya, Nyāyikās (pengikut filsafat Nyāya) telah menerima empat Pramānā, para Mimāsakās (pengikut filsafats Mimāsa) telah menerima enam pramānā.
Demikian pula, dalam filsafat Sāṁkhya, tiga Pramānā telah diterimanya. Pendiri dari sistem filsafat ini adalah Mahaṛṣi Kapila Muni, yang dikatakan sebagai putra Brahma dan Avatāra dari Viṣṇu. Pada sistem Sāṁkhya tak ada penyelidikan secara analitik ke dalam alam semesta, seperti keberadaan yang sesungguhnya yang merupakan susunan menurut topik-topik dan kategori-kategori, namun terdapat suatu sistem tiruan yang diawali dari satu Tattva atau prinsip mula-mula atau Prakṛti, yang berkembang atau yang menghasilkan (prakaroti) sesuatu yang lain.
Sad Darśana Sāṁkhya Darśana, Pendiri, Pokok Ajaran, Purusa dan Prakrti .Sāṁkhya Darśana didirikan oleh Mahaṛṣi Kapila Muni, ini adalah filsafat yang paling kuno. Filsafat ini dibangun oleh Rṣi Kapila. Sebuah teks yang ditulis oleh Ishwar Krishna disebut ‘Sānkhyakārika’ adalah sumber terpercaya prinsip pengetahuan dalam filsafat ini. Hal ini ditulis dalam Aryan Chand (sejenis puisi Sanskṛta kuno) dan berisi 72 Karikas (koleksi memorial ayat tentang topik filosofis) yang menerjemahkan Sāṁkhya Siddhant (Doktrin Sāṁkhya) yang jelas dan eksplisit.
Para ahli merasa bahwa beberapa orang mungkin telah belajar menulis Sāṁkhya Sūtra dan Sūtra Sānkhyasamās dalam nama Rṣi Kapila, karena tidak ada yang menyebutkan bahwa dua teks tersebut ditulis pada 1500 SM. Oleh karena itu, apa pun pengetahuan yang kita dapat dari ajaran Sāṁkhya sekarang didasarkan pada Sāṁkhya Karikas. Ajaran Sāṁkhya merupakan filsafat yang menerima 24 Kebenaran dari Prakṛti (Alam benda) dan 25 kebenaran Puruṣa (Jiwa).
b. Memahami Konsep Puruṣa dan Prakṛti
Seperti yang telah disinggung di atas, Sāṁkhya mempergunakan 3 sistem atau cara mencari pengetahuan dan kebenaran, yaitu Pratyakṣa (pengamatan langsung), Anumāṇa (penyimpulan), dan Apta Vākya (penegasan yang benar). Kata Apta artinya ‘pantas’ atau ‘benar’ yang ditunjukkan kepada wahyu-wahyu Veda atau guru-guru yang mendapatkan wahyu. Sistem Sāṁkhya umumnya dipelajari setelah sistem Nyāya, karena ia merupakan sistem filsafat yang hebat, di mana para filsuf barat juga sangat mengaguminya, karena secara pasti ia menekankan pluralitas dan dualitas, karena mengajarkan bahwa ada Puruṣa atau roh yang banyak sekali. Sāṁkhya menyangkal bahwa suatu benda dapat dihasilkan melalui ketiadaan.
Prakṛti dan Puruṣa adalah Anādi (tanpa awal) dan Ananta (tanpa akhir;tak terbatas). Ketidakberbedaan (Aviveka) antara keduanya merupakan penyebab adanya kelahiran dan kematian. Perbedaan antara Prakṛti dan Puruṣa memberikan Mukti (pembebasan). Baik Prakṛti maupun Puruṣa adalah Sat (nyata). Puruṣa bersifat Asaṅga (tak terikat) dan merupakan kesaḍaran yang meresapi segalanya dan abadi.
Prakṛti merupakan si pelaku dan si penikmat, yang tersusun dari asas materi dan rohani yang memiliki atau terpengaruh oleh 3 Guṇa atau sifat, yaitu Sattvam, Rājas dan Tamas. Prakṛti artinya ‘yang mula-mula’, yang mendahului dari apa yang dibuat dan berasal dari kata ‘Pra’ (sebelum), dan ‘Kri’ (membuat yang mirip dengan Māyā dan Vedānta. Prakṛti merupakan sumber dari alam semesta dan ia juga disebut Pradhāna (pokok), karena semua akibat ditemukan padanya dan juga merupakan sumber dari segala benda.
Pradhāna dan Prakṛti adalah kekal, meresapi segalanya, tak dapat digerakkan dan cuma satu adanya. Ia tak memiliki sebab tapi merupakan sebab dari suatu akibat. Prakṛti hanya bergantung pada aktivitas dari unsur pokok Guṇa-nya sendiri. Ke-3 Guṇa tersebut tak pernah dan saling menunjang satu sama lainnya, serta saling bercampur. Ia membentuk substansi Prakṛti. Akibat dari pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti timbullah ketidakseimbangan tri guṇa tersebut yang menimbulkan evolusi atau perwujudan. Prakṛti berkembang di bawah pengaruh Puruṣa. Produk awal dari evolusi Prakṛti adalah Mahat atau Kecerdasan Utama, yang merupakan penyebab alam semesta dan selanjutnya muncul Buddhi dan Ahaṁkāra. Dari Ahaṁkāra muncul Manas atau pikiran, yang membawa perintah-perintah dari kehendak melalui organ-organ kegiatan (Karma Indriya).
Sattvam merupakan keseimbangan, sehingga apabila Sattvam lebih berpengaruh, terjadilah kedamaian atau ketenangan. Rājas merupakan aktivitas, yang dinyatakan sebagai Rāga-Dveṣa, yaitu suka atau tidak suka, cinta atau benci, menarik atau memuakkan. Tamas merupakan belenggu dengan kecenderungan kelesuan, kemalasan, dan kegiatan yang dungu atau bodoh, yang menyebabkan khayalan atau Aviveka (tanpa perbedaan). Sāṁkhya menerima teori pengembangan dan penyusutan, di mana sebab dan akibat merupakan keadaan yang belum berkembang dan pengembangan dari suatu substansi yang sama.
Gambaran sentral dari filsafat Sāṁkhya adalah bahwa akibat benar-benar ada sebelumnya di dalam penyebab, seperti seluruh keberadaan pepohonan yang dalam keadaan terpendam atau tertidur dalam benih (biji), demikian pula seluruh alam raya ini ada dalam keadaan tertidur dalam Prakṛti, yaitu Avyakṛta (tak terbedakan).

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang proses pengembangan dan penyusutan, Sāṁkhya menguraikannya sebagai berikut: dari pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti, timbullah Mahat (yang agung), yang merupakan benih alam semesta, di mana segi psikologinya disebut sebagai Buddhi, yang memiliki sifat-sifat kebajikan, pengetahuan, tidak bernafsu. Perbedaan antara Mahat dan Buddhi adalah, Mahat merupakan asas kosmis sedangkan Buddhi merupakan asas kejiwaan (merupakan unsur kejiwaan tertinggi). Dari Buddhi timbullah Ahaṁkāra yang merupakan asas individuasi atau asas keakuan, yang menyebabkan segala sesuatu memiliki latar belakang sendiri-sendiri.
Perkembangan kejiwaan yang pertama adalah Ahaṁkāra adalah Manas yang merupakan pusat indra yang bekerja sama dengan indra-indra yang lain mengamati kenyataan di luar badan manusia. Tugas Manas adalah untuk mengkoordinir rangsangan-rangsangan indra, dan mengaturnya sehingga menjadi petunjuk dan meneruskannya kepada Ahaṁkāra dan Buddhi. Sebaliknya, Manas juga bertugas meneruskan putusan kehendak Buddhi kepada peralatan indra yang lebih rendah. Buddhi, Ahaṁkāra dan Manas secara bersama-sama disebut sebagai peralatan bhatin atau Antaḥkaraṇa.
Perkembangan kejiwaan yang kedua adalah Pañca Indra persepsi (Buddhendriya atau Jñānendriya), yaitu :
Penglihatan
Pendengaran
Penciuman
Perabaan, dan
Perasa
Perkembangan kejiwaan yang ketiga disebut sebagai Karmendriya atau organ penggerak, yaitu :
Daya untuk berbicara
Daya untuk memegang
Daya untuk berjalan
Daya untuk membuang kotoran, dan
Daya untuk mengeluarkan benih
Perkembangan fisik menghasilkan asas dunia luar, yang disebut 5 unsur dan perkembangan melalui 2 tahapan, yaitu :
Pada tahap pertama, berbentuk unsur halus (Pañca Tanmātra) yaitu sari suara, sari raba, sari warna, sari rasa, dan sari bau.
Pada tahapan kedua terjadi kombinasi dari unsur-unsur halus yang menimbulkan unsur-unsur kasar yang disebut pañca mahābhūta, yaitu :
Ākāśa (ether, ruang)
Vāyu (udara)
Agni atau Tejah (api/panas)
Āpah (air), dan
Pṛthivī (tanah).
b. Tri Guṇa
Prakṛti dibangun oleh guṇa yaitu, Sattva, Rājas, dan Tamas. Guṇa artinya unsur, atau komponen penyusunan. Guṇa itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya itu disimpulkan atas objek dunia ini yang merupakan akibat daripadanya. Karena adanya kesamaan azas antara akibat dan sebab, maka dapat kita ketahui sifat-sifat Guṇa itu dari alam yang merupakan wujud hasil daripadanya.
Semua objek dunia ini memiliki tiga sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa senang, susah, dan netral. Nyanyian burung yang menyenangkan seorang seniman, menyusahkan orang sakit, tak berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab semua sifat ini merupakan akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah terkandung dalam Sattva, Rājas, dan Tamas itu.
Sattva adalah suatu Prakṛti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran sifat ringan yang menimbulkan gerak ke atas, angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangan seperti kepuasan, kegirangan, dan sebagainya.
Rājas adalah unsur gerak pada benda-benda ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda ini bergerak. Rajas menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran berkeliaran ke sana ke mari. Ialah yang menggerakkan Sattva dan Tamas untuk melaksanakan tugasnya.
Tamas adalah unsur yang menyebabkan sesuatu menjadi pasif dan bersifat negatif. Ia bersifat keras, menentang aktivitas, menahan gerak pikiran, hingga menimbulkan kegelapan, kebodohan sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena menentang aktivitas menyebabkan orang menjadi malas, acuh tak acuh, atau tidur.
Ketiga guṇa ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling mendukung satu sama lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan ‘lampu minyak’ yang terdiri atas unsur nyala, unsur minyak, dan unsur lampunya, yang secara sendiri-sendiri tidak akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep penciptaan, pemeliharaan dan peniadaan, Sattva adalah penciptaan, Rājas adalah pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan. Prakṛti dicirikan oleh adanya tiga guṇa di atas.
Kata guṇa artinya adalah kualitas atau sifat dari Prakṛti, tetapi tidak sekadar aspek permukaan dari alam materiil ini, tapi hakikat intrinsik dari Prakṛti. Guṇa itu selalu berubah dari dalam dirinya sendiri walaupun dalam keadaan keseimbangan, hanya saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang keseimbangan tidak terganggu. Bila keseimbangan terganggu maka guṇa dalam situasi Guṇaksobha, di mana masing-masing guṇa beraksi satu sama lainnya yang disebabkan karena salah satu guṇa secara dominan tampil walaupun tidak meniadakan guṇa lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang tidak bergerak maka yang dominan adalah Tamas Guṇa dibandingkan dengan dua guṇa lainnya. Dalam sesuatu ang bergerak maka Rājas Guṇa dominan dari pada dua guṇa lainnya.
Demikianlah guṇa itu bekerja bersama-sama dalam membentuk alam semesta ini. Guṇa-Guṇa itu dapat dimengerti dari fakta berupa ciri-ciri dari dunia materiil ini, baik secara eksternal maupun secara internal, baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang semuanya memiliki kemampuan dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau seimbang tidak keduanya. Suatu objek yang sama barangkali menyenangkan seseorang tapi menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu.
Seorang wanita yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya, tapi akan menyakitkan wanita lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar wanita cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak terlibat ‘kecantikan’ dari wanita itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dengan orang-orang lainnya di sekitarnya, yang muncul dari guṇa yang ada pada dunia ini.
Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana asal-usul dari semua fenomena Prakṛti yang memiliki ciri-ciri yang dapat kita temukan pada objekobjek dunia ini. Prakṛti dan produk-produk yang dihasilkannya membutuhkan guṇa tersebut karena Prakṛti dan produknya tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Puruṣa. Mereka adalah objek sedangkan Puruṣa adalah subjek.
Filsafat Sāṁkhya menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta ini berkembang dari Guṇa, di mana dalam keadaan ketiga Guṇa itu seimbang alami disebut Prakṛti dan dalam keadaan tidak seimbang disebut sebagai Vikṛti, yaitu keadaan yang heterogen.
Tiga Guṇa ini oleh filsuf Sāṁkhya yang beraliran nontheistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari aktivitas dan Tamas adalah berat dan gelap, lesu atau menutupi. Guṇa itu tidak berbentuk dan selalu ada (omnipresent) yang dalam keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya ke dalam yang satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, Rājas dikatakan sebagai pusat dari Sattva dan Tamas, yang menghasilkan penciptaan karena memanifestasikan dirinya dengan demikian Rājas menghasilkan pasangan-pasangan yang berlawanan. Sebaliknya Rājas juga tergantung dari Sattva dan Tamas, karena aktivitas tidak akan terjadi tanpa adanya objek di mana ia beraktivitas.
Dalam keadaan memanifestasikan diri, salah satu guṇa mendominasi dua guṇa lainnya, tetapi tidak pernah terjadi secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya karena secara keseimbangan mereka bereaksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan pengaruh Rājas maka kekuatan Sattvika mengalami kecepatan yang tinggi dan unit kekuatan itu terpecah menjadi bagian-bagian. Dalam tahapan tertentu barangkali percepatan berkurang dan mereka mulai mendekat dan mendekat satu sama lainnya. Kontraksi dari kekuatan Sattvika maka akan terbentuk Tamas, dan dalam waktu yang bersamaan dorongan dari kekuatan aktif (Rājas) juga terjadi pada Tamas dan dalam kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat.
Dengan demikian guṇa itu secara terus menerus mengubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya. Keunggulan Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas terjadi secara bersamaan dalam proses tersebut, dan pergantian itu terjadi pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan tidak berbobot sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini bekerja secara bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya benda-benda bergerak dari yang halus.
Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun dalam bentuk-bentuk yang halus, dari mana ia memanifestasikan dari dalam bentuk keseimbangan yang baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatu tahapan tertentu dari proses evolusi itu sendiri.

Memang kelihatannya ada suatu konflik yang berkesinambungan antara Guṇa itu, tapi sesungguhnya ada kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan oleh karena lewat interaksi yang berkesinambungan itulah aliran kosmis dan kehidupan individual terus berlangsung. Guṇa itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian manusia seperti halnya yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan.
c. Evolusi alam semesta.
Prakṛti akan mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan Puruṣa. Melalui perhubungan ini Prakṛti dipengaruhi oleh Puruṣa seperti halnya anggota badan kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam semesta tidak mungkin terjadi hanya karena Puruṣa, karena ia bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat terjadi karena ia tanpa kesadaran. Hanya karena perhubungan Puruṣa dan Prakṛti ini adalah seperti kerja sama orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar hutan. Mereka bekerja sama untuk mencapai tujuannya.

Hubungan antara Puruṣa dan Prakṛti menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam Tri Guṇa. Yang mula-mula tergantung ialah Rājas dan menyebabkan Guṇa yang lain ikut terguncang pula. Masing-masing Guṇa itu berusaha mengatasi kekuatan Guṇa lainnya. Maka terjadilah pemisah dan penyatuan Tri Guṇa itu yang menyebabkan munculnya objek yang kedua ini. Yang pertama terjadi dari Prakṛti ialah Mahat dan Buddhi. Mahat adalah benih besar alam semesta ini sedangkan Buddhi adalah unsur intelek.

Fungsi buddhi ialah untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang dari alat-alat yang lebih rendah daripadanya. Dalam keadaannya yang murni ia bersifat dharma, jñana, vāiragya, dan aiṣarya yaitu kebijakan, pengetahuan, tidak bernafsu, dan ketuhanan. Ia berada amat dekat dengan roh. Ahaṁkāra atau rasa aku adalah hasil Prakṛti yang kedua. Ia langsung timbul dari mahat dan merupakan manifestasi pertama dari mahat. Fungsi Ahaṁkāra ialah merasakan rasa aku. Dengan Ahaṁkāra sang diri merasa dirinya yang bertindak, yang ingin, dan yang bermilik.Ada tiga macam Ahaṁkāra sesuai dengan Guṇa mana yang lebih unggul dalam keinginan itu. Ahaṁkāra itu disebut sattvika bila unsur Sattvam yang unggul, Rājasa bila Rājas yang unggul dan Tamasa bila Tamas yang unggul. Dari Sattvika timbullah pañca jñanendriya, pañca karmendriya, dan manas. Dari Tamasa lahirlah pañca tanmātra sedangkan Rājasa memberikan tenaga baik pada Sattvika maupun Tamasa untuk mengubah manas berfungsi menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui dan bertindak.

Pañca tanmātra adalah sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa, dan bau. Semuanya ini hanya diketahui orang akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat dikenal karena amat halusnya. Dari semua anasir kasar itu berkembanglah alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan azas-azas baru lagi seperti dalam perkembangan Mahat. Suatu azaz lagi setelah terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai di situ, sebab ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang menikmati isi alam ini. Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian moral, kenikmatan, dan kesusahan hidup ini. Evolusi Prakṛti menjadi objek yang memungkinkan roh nikmat atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatannya. Namun tujuan akhir evolusi Prakṛti ialah kelepasan.
d. Ajaran tentang Kelepasan
Hidup di dunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang dapat menghindarkan diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindarkan diri dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu Adhyātmika, Adhibāutika, dan Adhidāivika.
Adhyātmika adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan perasaan. Ia merupakan gangguan jasmani dan rohani seperti sakit kepala, takut, marah, dan sebagainya.Adhibāutika adalah sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk, dan sebagainya; dan Adhidāivika adalah sakit karena tenaga gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya.
Tidak ada seorang pun yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan sakit. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan lemah, selama itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian kita perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup hidup biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran sehat.
Dalam ajaran Sāṁkhya kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. Inilah tujuan terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuh-penuhnya. Sāṁkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini. Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan orang menderita.

Dalam banyak hal orang-orang yang tidak punya pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya orang-orang yang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan itu tidak sempurna, maka ia tidak lepas dari penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya akan dicapai bila pengetahuan orang akan kenyataan itu sudah sempurna.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda